Kenikmatan dari Allah SWT di bagi menjadi dua bagian; Pertama, kenikmatan priemer seperti iman, mengerjakan kewajiban, diberikan kesehatan dan waktu.
Kedua, kenikmatan sekunder seperti bisa menjaga shalat sunnah, banyak membaca Al Quran dan dzikir, bersalaman ketika bertemu dan lainnya.
Berkenaan dengan waktu ada pepatah menyampaikan "Waktu itu lebih berharga dari pada emas". Jika kamu ingin menukarkan emas dengan waktu yang telah berlalu tentu tidak akan bisa di raih. Jika kamu ingin membeli emas maka waktu akan menjadi partner setia.
Keagungan Allah SWT mengatur sistem waktu, sarat akan makna yang perlu kita renungkan, misteri apa yang tersembunyi di balik itu. Jika belum menemukan hikmah dibalik sistem waktu, maka minimal mampu memanfaatkan waktu itu sendiri agar tergolong orang yang mensyukuri waktu.
Allah SWT bersabda;
وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ خِلْفَةً لِّمَنْ أَرَادَ أَن يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا
Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.( Al Furqan 62).
Bersyukur pada Allah SWT yang telah menganugerahi waktu, tentu itu merupakan sebuah kewajiban, baik rasa syukur itu melalui hati dengan cara berniat melakukan kebaikan dan menyimpannya agar tidak dilihat orang lain, melalui lisan dengan cara memuji Allah SWT, dan melalui anggota tubuh dengan cara menggunakan nikmat Allah SWT untuk kataatan dan tidak menggunakan nikmat tersebut pada kemaksiatan.
Bagitu juga sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat memperhatikan waktu;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي، فَقَالَ: «كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ» وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: «إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ»[ صحيح البخاري)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata; “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda; ”Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau pengembara”. Maka Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyatakan; “Jika engkau berada di sore hari janganlah engkau menunggu datangnya esok hari, Jika engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menunggu datangnya sore hari. Pergunakanlah masa sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu, dan masa hidupmu untuk menghadapi masa kematianmu”. (HR. Imam Bukhari).
Hadits di atas memotivasi kita, betapa pentingnya bagi seorang hamba agar tidak melalaikan waktu serta tidak menunda kebaikan sampai esok hari, karna setiap waktu yang telah di berikan oleh Allah SWT terdapat (anjuran) ibadah di dalamnya, baik itu wajib atau sunnah, semisal waktu malam ada anjuran shalat tahajjud, waktu pagi setelah matahari meninggi dengan kadar satu tombak untuk shalat dhuha dan lainya. Sudah tentu, jika lalai akan hal itu, kita tidak bisa mengulanginya lagi.
Bagi penuntut ilmu, cara terbaik menghargai waktunya, tentu dengan memaksimalkan belajar. Mencintainya butuh kedisiplinan yang harus di asah dengan selalu membuka lembaran-lembaran buku, yang ilmu terkandung di dalamnya seperti kata pepatah; "Timbulnya cinta karna seringnya berjumpa".
Demikian itu karena ilmu merupakan barometer santri untuk di katakan sukses meskipun di mata masyarakat perannya kurang begitu di perhatikan. Berbekal ilmu yang dimiliki, segala kewajiban pada Allah SWT, menghidupkan syiarnya dan hubungan sosial kemasyarakatan akan berjalan dengan baik sesuai tuntunan syari'ah.
Beberapa alasan kenapa ilmu itu menjadi standar kesuksesan santri.
Pertama diangkat derajat pemiliknya,
Allah SWT berfirman;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu, dan apabila dikatakan berdirilah kamu maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Surat Al-Mujadalah ayat: 11).
Kedua perintah dari nabi Muhammad SAW.
Beliau bersabda; "Bajarlah kalian ilmu dan jadilah kalian orang yang memilikinya".
Juga sabda beliau; "Belajarlah kalian ilmu dan beramallah dengannya".
Ketiga, Ilmu merupakan kenikmatan yang paling utama dan darinya lahirlah kemuliaan, kedudukan tinggi dan di jaga dari kebinasaan.
Syaikh Sufyan bin Uyainah berkata; "Tidak di berikan kenikmatan pada seseorang di dunia ini yang lebih utama dari pada kenabian dan setelahnya adalah ilmu dan fiqh".
Syaikh Wahab bin Munabbih berkata; " Bercabang dari ilmu sebuah kemuliaan sekalipun orangnya itu sebelumnya rendahan, kedudukan tinggi sekalipun di hinakan, kedekatan sekalipun jauh, kekayaan sekalipun fakir, berwibawa sekalipun sebelumnya hina".
Syaikh Wahb bin munabbah mengungkapkan dengan untaian syairnya;
العلم بلغ ذروة الشرف • وصاحب العلم محفوظ من التلف
يا صاحب العلم مهلا لا تدنسه • بالموبقات فما للعلم من خلف
العلم يرفع بيتا لا عماد له • والجهل يهدم بيت العز والشرف
"Ilmu menghantarkan bangsa pada puncak kemuliaan dan orang yang memilikinya di jaga dari kerusakan
Duhai orang yang mempunyai ilmu pelan-pelanlah jangan mengotorinya dengan hal yang bisa merusak karna ilmu tidak mempunyai pengganti.
Ilmu bisa meninggikan rumah yang tidak ada penyangganya sedangkan kebodohan akan menghancurkan rumah kemuliaan dan keagungan".
Ilmu juga merupakan warisan para nabi untuk ummatnya bukan uang, harta, emas dan lainnya maka tak heran bagi para pecinta ilmu seluruh waktunya di gunakan untuk belajar meskipun sudah masuk usia tua dan bukan putra dari tokoh-tokoh besar di zamannya, sebagaimana Syaikh Hasan bin Ziyad murid Iman Abu Hanifah yang di anugrahi umur panjang sekitar 160 tahun, memulai pengembaraannya belajar ilmu fiqh di saat usia beliau mencapai 80 tahun. Begitu juga Syaikh Yahya bin Ma'in yang merupakan seorang budak dari bani murr yang di merdekakan dan menjadi ulama' besar Ahli Hadits sedangkan ayahnya adalah Ma'in, orang terhormat yang menjadi juru tulis raja Abdillah bin Malik dalam urusan pajak di kota Ray. Setelah ayahnya wafat, meninggalkan uang satu juta dirham untuk Yahya bin Main dan semua uangnya itu di infakkan untuk pengumpulan ilmu hadits sampai tidak tersisa sama sekali meskipun itu hanya berupa sandal yang di pakai.
Syaikh Yahya bin Ma'in berkata kepada gurunya yaitu Syaikh Muhammad bin Alfadl; "Diktelah Hadits yang kamu hafal padaku, aku hawatir tidak akan berjumpa lagi denganmu karna banyak sesuatu yang akan memutuskan kehidupan, aku takut ada penghalang antara aku denganmu sehingga tidak bertemu lagi. Kemudian Syaikh Muhammad bin Al Fadl mendiktekan hadits yang beliau hafal pada waktu pertama kali di minta, kemudian gurunya masuk lagi kerumah untuk mengambil kitab lalu membacakan Hadits untuk yang kedua kalinya.
Komentar Imam Ahmad bin Hanbal tentang Syaikh Yahya bin Ma'in; " Semua Hadits yang tidak di ketahuinya berarti bukan Hadits, beliau adalah seorang laki-laki yang di ciptakan untuk urusan ini, memperlihatkan kebohongan dari para pendusta Hadits".
Begitupun dengan sosok Syaikhina KHR Abdul Mujib Abbas Begitu semangat dalam urusan belajar mengajar, memperhatikan betul para santrinya sampai di usia yang sepuh beliau masih mengajar cucunya, merima sorogan kitab atau setoran Al Quran para santrinya.
Refrensi
Al Qur'anul Karim
Shohih Al Bukhori karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al Bukhari
Qimatuzzaman 'Indal Ulama karya Syaikh Abdul Fattah Abu ghuddah
Ihya' Ulumiddin karya Hujjatul islam Muhammad bin Muhammad Al Ghazali
Adabul 'Alim wal Muta'allim karya Syaikh Hasyim Asy'ri (pendiri Ormas Nahdlatul Ulama')
Ta'lim Muta'allim karya Syaikh Zarnuji
Ali Ma'shum Jamali (Anggota LBM NU Konang Bangkalan)
0 Komentar